Terima kasih Telah berkunjung ke Blog 'TEATER KOPYAH'. follow twitter kami: @TeaterKopyah,Atau tinggalkan pesan di: teater_kopyah@yahoo.coiid. Salam Budaya!

Rabu, 27 April 2011

Kyai Zami dan Anjing-anjing Berkelintar








Cerpen:Iwan RS



Sudah beberapa hari ini setiap tengah malam, puluhan anjing akan berdatangan dari berbagai arah. Anjing-anjing itu akan bergerak menuju surau kampung Mahoni, kampung yang bermukim dilereng bukit dengan jarak berjauhan dengan kampung lain. Anjing-anjing akan menerobos malam dengan kemilau bulan pucat pasi yang menerpa bulu mereka yang lembut hingga tubuhnya nampak berkilau. Surau panggung yang sudah berumur itu berdinding papan kayu jati, berdiri sekitar limaratus meter dari rumah penduduk. Tempat ibadah sederhana dengan konstruksi bangunan lawas namun nampak begitu teduh dan bersih dengan rerumpunan perdu, mahoni, serta jejar pepohonan kelapa yang melingkunginya. Tentulah surau kebanggaan, surau tempat mereka mengabdikan segenap tubuh dan jiwa mereka untuk Sang Pencipta atas hidup yang telah mereka kecap.

jika puluhan anjing itu sudah merangsek menyerbu kampung mereka, tak dapat di pungkiri nyalaknya yang melengking panjang dan bersautan akan membuat merinding bagi siapa saja yang mendengarnya. Apalagi suasana kampung Mahoni begitu tenang, kedatangan anjing-anjing pada waktu tengah malam merupakan persoalan tersendiri. Anak-anak kecil yang tengah tertidur akan terjaga lantas memandang ke langit-langit rumah, menyimak lolongan anjing penuh seksama dan jantung berdebar kemudian akan buru-buru menyelinap ke ketiak ibunya dengan cepat sambil memejamkan mata dan tersenik. Kalau sudah begitu para orang tua akan keluar dari balik pintu rumah dengan membuka pintu berlahan, sekedar untuk memastikan sumber lolongan binatang petaka itu. Mereka kembali masuk ke dalam rumah lantas menutup pintu rapat-rapat setelah yakin bahwa anjing- anjing tak lagi berulah dengan lolongannya.
Tak ada yang dapat memastikan untuk apa anjing-anjing itu menyerbu kampung mereka. Tak ada pula dalam sejarah kampung Mahoni disatroni anjing, apalagi dengan jumlah mencapai puluhuan. Jangankan memelihara, mengumpat dengan menyebut nama ‘anjing’ saja bagi orang-orang kampung Mahoni sudah merupakan laknat yang musti mencoreng martabat sang pengumpat. Suatu hari, tapi itu dulu sekali, seekor anjing pernah memasuki kampung, mengekor tuannya yang bersepeda. Terang saja tanpa dikomando orang laki-laki di kampung Mahoni menyelinap menuju dapur guna mengasah golok dan parang. Setelah itu mereka keluar dengan memasang wajah kecut sementara golok dan parang sudah dalam genggaman, kemudian menguntit anjing milik juragan tembakau warga keturunan itu dengan kompak. Terang saja juragan tembakau yang bertubuh tambun dan berambut jarang itu panik bukan main, takut anjing kesayanganya dilumat golok dan parang orang-orang Mahoni. Ia membatlakan tujuan memasuki kampung Mahoni lebih jauh, kontan berbalik arah keluar kampung dengan mengayuh sepedanya cepat bersama anjingnya yang sudah lebih dulu kabur dengan gesit.
Datangnya sekawanan anjing ke kampung Mahoni yang berjumlah puluhan pada waktu tengah malam tentulah menjadi perbincangan yang menggemparkan warga setempat. Mereka gerah dan ingin segera mengambil tindakan. Apalagi anjing-anjing itu diketahui berkelintar disekitar suaru. Tanpa harus menunggu malam berikutnya musyawarahpun dilakukan meski tidak formal. Dari mulut ke mulut kesepakatanpun meruncing yang kemudian berujung dengan penyiapan kelewang, potongan kayu, belahan batu-bata, atau apa saja yang enak digunakan jika binatang yang oleh orang-orang dicap nazis itu dating lagi. Mereka berharap anjing-anjing dapat dihardik dengan secepatnya. Syukur bisa klenger di tempat, dengan tubuh moyak bersimbah darah atau kaki semper. Tentulah suatu kepuasan tersendiri membantai binatang yang karuan mereka benci.
Berkisar pukul sebelas malam, gerombolan laki-laki yang kebanyakan anak muda berkumpul di tempat yang telah disepakati. Di tangan mereka telah siaga alat bantai masing-masing. Mereka benar-benar melakukan penyiapan penghardikan untuk anjing-anjing layaknya merancang sebuah strategi perang dasyat.
Setengah jam kemudian, setelah dirasa semua siap agresi, mereka bergerak ke arah perbatasan kampung. Disinyalir anjing-anjing memang berdatangan dari arah perbatasan kampung yang kemudian akan masuk hingga ke arah surau. Sesampaianya di perbatasan orang-orang kemudian berpencar. Dari puluhan orang dibagi beberapa kelompok kecil untuk dapat memudahkan pembantaian. Tak lama kemudian suara anjing-anjing terdengar semakin dekat perbatasan. Anjing-anjing mulai merangsek. Beberpa orang yang nampakanya adalah pimpinan kelompok melakukan pembicaraan singkat.
Sengaja anjing-anjing dibiarkan masuk dengan leluasa. Mereka hanya menguntitnya dengan hati-hati, membuat gaduh pada saat orang-orang kampung terlelap juga merupakan hal yang harus dihiraukan bagi para pembantai. Dalam menguntit mereka juga mengambil jarak agar pengintaian berlangsung nyaman dengan target sasaran memuasakan. Sebenarnyalah mereka paham betul akan karakter anjing, tentulah akan penciumannya yang tak bisa dianggap remeh.
****
Sementara di rumah Kyai Zami, setelah tamunya pulang, ia masuk ke bilik; mengenakan kopiah, menggamit sajadah, memasukkan tasbih ke saku baju, lantas melangkah menuju surau. Hal yang biasa ia lakukan jika tangah malam tiba.
Kyai Zami, demikian orang-orang menyebutnya, meski tidak memiliki pesantren dan santri, ia cukup dikenal dan kerap dikunjungi banyak orang setiap saat, sekadar bertukar pikir perihal apa saja menyangkut masalah poses hidup. Dan orang-orang ikhlas membubuhkan sebutan Kyai di depan namanya, dan pastilah karena memang Kyai Zami layak menyandangnya. Meski Kyai Zami sendiri merasa risih dengan embel-embel tersebut, ia menganggap orang-orang terlalu berlebihan. Ia hanya ingin dekat bersama Tuhan dan alam beserta isinya dengan sepenuh hati, selebihnya waalahualam.
Lampu bohlam terpancang sepanjang jalan dari rumah Kyai Zami menuju surau. Lampu bolam lima watt bertudung topi pendekar Cina, cukuplah sekedar membuat Kiai Zami dapat melangkah tanpa harus di susupi ragu kendati kacaamatanya lumayan tebal.
Beberapa langkah lagi Kyai Zami sampai di surau. Sekonyong-konyong berhambur puluhan anjing dari kolong surau, menyambut kedatangannya. Dengan cekatan anjing-anjing itu mengitari Kyai Zami. Puluhan anjing mendekat seperti berhasrat menjilat kaki dan sarung Kyai Zami. Anjing-anjing terus mengekor langkah kaki Kyai Zami hingga ia naik ke tangga surau. Setelah Kyai Zami masuk dan menutup pintu, puluhan anjing itu melindap ke kolong surau kemudian menekur dengan tenang.
Angin berhembus melambaikaan ujung daun kelapa di sekitar surau. Semburat bulan pucat pasi menelisik samar. Dedaunan basah dijilat embun. Malam ngelangut namun menyimpan ketenangan begitu khidmat. Juga puluhan anjing itu, dengan khusuk menelungkup serta sesekali mengitari surau layaknya jamaah mengitari Ka’bah.
Namun ketenangan khidmat itu seketika buyar oleh kaingan seekor anjing. Kaingan keras, memilu serta parau, disusul kemudian suara kaingan anjing lainnya secara serentak. Anjing-anjing mengaing tak berjuntrung. Matanya merah tersumbat amarah. Anjing-anjing berhamburan mengitari surau dengan mebidas cepat seperti maut tengah memburunya tanpa ampun. Anjing-anjing kalang-kabut meninggalkan surau, ketika puluhan penduduk menyeruak dari balik pohon kelapa dan rerimbunan perdu, siap dengan senjata masing-masing.
Seekor anjing ditinggal kawanannya melesat kabur. Anjing itu linglung sebab kakinya semper karean batu cadas yang meluncur keras. Pandangannya samar sebab terleleh darah dari ubun-ubunnya yang robek. Darah merah segar terus meleleh. Sebagian orang-orang mengejar anjing-anjing yang kabur. Sebagian lagi mengurusi seekor anjing yang tertinggal dan limbung. Mereka mengepungnya, mengacungkan tangan serta alat bantai. Membunuh berjamah merupakan suatu pilihan jitu bagi binatang bernama anjing. Tapi ketika benda-benda keras ditangan siap hantam, terdengar deheman dari surau. Deheman khas Kiai Zami. Ia berdiri di ambang pintu surau. Orang-orang berpaling ke arahnya. Kiai Zami tak berujar namun sorot matanya merupakan gelagat bahwa beliau kurang sepakat atas perlakuan mereka terhadap anjing-anjing.
“Kami telah mengusirnya, Kyai !“ kata seseorang.
“Ya, Kyai”, sambut yang lain. “ Laknat-lakanat najis itu telah kabur. Tinggal satu ini, hampir mampus pula.”
Pandangan orang-orang meloncat ke arah anjing yang memang hampir mati. Sebagian mereka diam, sebagian lagi tersenyum puas melihat anjing itu tak berkutik. Seekor anjing itu telah mati. Orang-orang Mahoni telah menghabisinya. Tanpa harus menyentuh orang-orang mengikat kepala bagakai anjing dengan tali. Mereka hendak menyeretnya untuk dibuang ke sungai. Namun baru beberapa langkah orang yang menyeret bangkai anjing berhenti. Kyai Zami menyarankan agar bangkai anjing itu di kuburkan layaknya manusia. Orang-orang tentulah tak setuju dengan anjuran Kyai Zami. Mereka ingin langsung menghanyutkan bangkai anjing ke sungai pinggir kampung, tanpa harus dengan proses penguburan. Namun dengan penuh takzim mereka akhirnya manut dengan keputusan Kiai Zami. Anjing itu dikuburkan tak begitu jauh dari surau.
******
Sejak kejadian pembantaian itu, orang-orang kampung Mahoni yakin Anjing-anjing itu tak bakal punya nyali lagi bertandang ke kampung mereka. Tapi, subhanallah, besoknya, tepat tengah malam, pulahan anjing-anjing kembali berdatangan, justru kali ini mereka datang dengan berlipat jumlah dengan lolongannya yang panjang dan khas. Anak-anak kecil kembali terjaga dan menangis. Orang-orang kembali menggamit golok dan parang. Mereka semakin berang. Kali ini warga kampung Mahoni akan mengerahkan segenap kekuatan untuk membuat anjing-anjing itu kapok. Mereka seperti kehabisan akal. Anjing adalah anjing, kehadiran mereka merupakan malapetaka di kampung Mahoni. Jumlah penghardik ditambah lima kali lipat, anak lelaki yang sekiranya sudah cukup umur dan sabggup untuk sekedar mengusung bongkahan batu-bata dilibatkan. Sepertinya tekad mereka bulat dan tak dapat di bendung. Bahkan beberpa dari mereka ada yang telah menyelinap lebih awal ke balik pepohonan dekat surau, menyelinap tanpa aturan waktu agresi yang telah disepakati.
“Kita bergerak!” ujar seseorang dengan geram.
Ratusan orang kemudian bergerak. Tentulah mereka merangsek ke arah surau tanpa harus dengan mengendap seperti yang sudah-sudah, langkah mereka pasti, karena yakin betul dengan jumlah warga yang berlipat akan membuat anjing-anjing itu tak berkutik.
Orang-orang Mahoni terperangah melihat anjing-anjing itu berbaris persis di depan pintu surau. Jumlahnya memang lebih banyak dari biasanya, tapi jelas belum sebanding dengan jumlah penghardik yang jumlahnya ratusan. Anjing-anjing berbaris seperti prajurit menjaga benteng istana. Lidahnya dijulurkan. Diam–diam para penghardik yang telah siap memabantai terbersit perasaan ganjil. Ratusan penduduk yang sejak tadi sudah kelewat geram tak bernyali. Bagaimana tidak. Anjing-anjing itu begitu nampak tenang, pun ketika melihat kedatangan orang-orang yang merangsek dengan amarah sempurna. Anjing-anjing tanpa geming, seolah siap dengan segala resiko termasuk mati. Orang-orang berdiri ngungun. Saling pandang. Benak mereka digerayangi banyak pertanyaan.
Mereka: para penduduk terus sibuk menduga dan bercuriga. Anjing jelmaan jin atau malaikat-kah yang bercokol di depan pintu surau, sementra Kyai Zami berada di dalam surau? Orang-orang tidak bisa mengambil kesimpulan secara pasti. Sampai akhirnya mereka memilih pulang dengan kepala tetap digrayangi pertanyaan.
***
Fajar memerah diufuk timur. Kilaunya menerobos menerobos kampung Mahoni, juga ke rumah Kiai Zami yang pagi itu nampak ramai dikunjungi banyak orang. Sehabis subuh tadi sepanjang jalan banayak orang-orang berduyun menuju rumah Kyai Zami. Dengungan kitab suci yang dibaca banyak orang seperti suara beribu lebah. Subuh tadi Kiai Zami telah pulang ke rahmatullah, persis selepas ia mengucap salam dalam sholat subuhnya, begitu kata seorang mamum yang Subuh tadi sholat tepat dibelkang Kyai Zami.
Pemakaman Kiai Zami dibanjiri banyak peziarah. Meski semua orang tahu bahwa kampung Mahoni begitu terpencil dan jauh, tapi tak membuat orang-orang enggan untuk berduyun datang, pun yang mereka yang orang kota yang kebetulan pernah mengenal Kyai Zami. Tentulah sebab beliau orang baik. Selama hidup dikerumuni banyak orang guna saling asah, asih, dan asuh. Tentu pula kepulangan Kiai Zami ke rahmattullah banyak orang yang merasa kehilangan. Tidak sedikit para takziyah yang menitikkan airmata hingga gundukan tanah sempurna menjadi pusara bertabur bunga.
***
Tengah malam, kembali suara lolongan anjing terdengar, puluhan anjing berdatangan, merangsek memasuki kampung Mahoni. Kali ini anjing itu bergerak menuju pemakaman Kyai Zami. Anjing-anjing itu kemudian berkelintar di sekitar pusara yang masih basah. Anjing-anjing yang tenang namun nampak begitu kehilangan. Tentulah kenyataan itu membuat orang-orang kampung semakin melongo: apa sebenarnya kaitan Kyai Zami dengan anjing-anjing?
Jogjakrta, 2006

BIODATA PENULIS
IWAN RS, Lahir di kota Brebes, Jawa tengah. Tercatat sebagi mahasiswa institut Seni Indonesia. Fakultas Seni Pertunjukan, Jrusan Teater. Aktif di Sanggar Suto Sebagai Sutradara. Beberapa cerpennya pernah terpublikasikan di: Bernas, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Jawa Pos, Suara Pemabaruan, Majalah Kuntum,dll.

0 komentar: