Terima kasih Telah berkunjung ke Blog 'TEATER KOPYAH'. follow twitter kami: @TeaterKopyah,Atau tinggalkan pesan di: teater_kopyah@yahoo.coiid. Salam Budaya!

Selasa, 19 April 2011

Antara Bismillah, Kang Dalimin dan Gus Mus




(Cerpen Iwan RS)

Penumpang yang duduk di sebelahnya menyodorkan salak. Kang Dalimin yang dari tadi melempar pandang ke luar jendela bus, melirik.

“Cobalah, Kang,” kata penumpang--yang dari basa-basi singkatnya, punya tujuan sama, yakni ke Jogja--dengan ramah. “Salak pondoh. Enak lho, Kang. Kalau mau ambilah….”

Merasa terpancing dengan keramahan si penumpang tadi, Kang Dalimin menjumput sebiji salak yang ditawarkan, mengucapkan terima kasih, mengupas dan mengunyahnya. Setelah itu kembali ia melempar pandang ke luar jendela seperti sediakala, dengan tidak lupa memasang muka masam. Sesekali nampak ia terkantuk-kantuk, tapi selalu tak dapat memejamkan mata dengan lezat, sebab sepertinya runyam tengah mengunjungi pikirannya.


Awalnya begini: Lantaran segala usaha yang pernah dilakoninya selalu gagal, istrinya mendesak agar dirinya meminta semacam ‘amalan’ kepada kyai.

“Lihat Kang,” ujar istrinya pada suatu hari, “Kang Nasoha jualan mie-ayamnya laris bukan kepalang. Batiknya Kang Darmadi sampai di pasarkan ke luar kota , bahkan sekarang sudah jadi juragan hebat. Pak Sugeng, layar tancapnya menancap di mana-mana kalau musim manten tiba. Itu karena mereka punya ‘amalan’ dari kyai, Kang. Tidak seperti Sampeyan, jualan arit cuma bertahan seminggu, buka warung kopi tiga hari kontan bangkrut, nebeng jualan batik sama Kang Darmadi ujungnya ditipu, buka warung kelontong malah sering tombok. Nah, sekarang mumpung belum terlambat dan supaya segala sesuatunya dapat berjalan dengan baik dan lancar. Tidak ada buruknya sebelum buka usaha tempe , cobalah minta ‘amalan’ pada kyai siapa gitu, biar rejekinya tidak seret kaya begini.”

Mulanya Kang Dalimin hanya mampu diam dan acuh mendengar anjuran istrinya. Tapi, ujungnya dipikirkannya juga desakan istrinya. Hingga kerap ia duduk sendiri di balai-balai depan rumahnya hingga malam melarut. Tapi kyai siapa yang akan ia mintai ‘amalan’, pikirnya. Ah, ia tidak punya banyak kenal kyai. Solat saja baru belajar setelah punya anak satu. Anaknya Kang Dalimin sekarang empat.

“Gus Mus, Kang!” tukas istrinya, membuyarkan lamunannya. “Aku barusan mimpi ketemu Gus Mus. Mungkin ini suatu petanda bahwa Sampeyan harus ketemu Gus Mus, Kang.”

“Gus Mus siapa?” jawab Kang Dalimin datar.

“Eee, Gus Mus yang kyai dari Rembang itu.”

“Ketemu Beliau saja belum pernah. Kamu pernah apa ketemu Gus Mus?”

“Pernah.”

“Kapan?”

“Yaitu tadi, lewat mimpi.”

“Hmm, mimpi.”

“Lho, ketika orang tengah disibukan cari jalan keluar dari persoalan yang membelit, bisa jadi mimpi itu suatu petunjuk, Kang.”

Atas desakan istrinya Kang Dalimin akhirnya berangkat juga ke Rembang, ke rumah Gus Mus. Dan tidaklah sulit mencari rumah beliau, karena memang seorang kyai kondang dan punya pesantren lumayan besar. Semua orang Rembang tahu siapa beliau. Tapi karena barangkali hati Kang Dalimin yang tidak mantap atau keberuntungan tidak sedang dipihaknya, sesampainya di rumah Gus Mus, orang yang dicarinya tak ada di rumah. Menurut istrinya, beliau baru saja berangkat ke luar kota . Terpaksalah ia harus balik lagi ke Jogja dengan memasang muka kecut.

***

Kang Dalimin melangkah goantai ke luar gerbang terminal. Kemudian dihampirinya tukang es kopyor di sebrang jalan. Tentulah untuk menghilangkan dahaga sepanjang perjalanan tadi. Ia merogoh saku bajunya dan menyodorkan uang seribu perak pada tukang es kopyor. Satu gelas es kopyor siap seruput.

Baru beberapa seruputan, sebuah mobil carry menepi, persis di depanya.

“Asalamualaikum, Gus Mus,” kata salah seorang yang turun dari mobil, kemudian bersalaman dengan orang yang disebutnya ‘Gus Mus”. Yang tak lain adalah orang tadi yang duduk satu bangku dalam bus dengan Kang Dalamin. Ya! orang yang menawarkan salak dalam bus itu.

Orang yang disebut ‘Gus Mus’ menjawab salam, dua orang yang turun dari mobil, yang sepertinya memang sengaja untuk menjemput orang yang disebut ‘Gus Mus’

Kang Dalimin terhenyak. Matanya membelalak seperti penumpang bus kota yang sedang mengincar bangku kosong. Dipandangnya orang yang disebut ‘Gus Mus’ dengan lekat. Begitu Kang Dalimin yakin, buru-buru ia letakan gelas es kopyor-nya, lalu menghambur mengejar mobil yang mulai beranjak laju.

“Gus Muuuus!” teriak Kang Dalimin seperti seorang surporter sepak bola saat jagonya membobol gawang lawan. Kontan orang-orang sekitar menoleh ke arahnya. Kang Dalimin tak peduli. Ia terus berteriak dengan lantang menyebut nama Gus Mus.

Untunglah carry itu berhenti, bergegaslah Kang Dalimin menghampiri. Seraya mengetuk kaca jendela mobil dengan cekat. Kaca jendela terkuak. Kang Dalimin melongok ke dalam.

“ Ada apa Pak?” kata salah seorang dari dalam mobil.

“Jangan panggil saya Pak, Gus. Nama saya Dalimin. Orang-orang biasa menyebut saya dengan diembel-embeli ‘Kang’ depan nama saya. Maaf saya mengganggu sebentar. Tapi benar kan Sampeyan Gus Mus?.”

“Nggih, saya. Ada apa, Kang?”

“ Masyaallah, Gus! Tadi kita kan duduk satu bangku toh? Maaf, saya kira tadi bukan Sampeyan.”

Orang yang disebut ‘Gus Mus’ dan memang Gus Mus hanya mesam-mesem.

“Saya barusan dari Rembang, ke rumah Sampeyan. Tapi kata istri Sampeyan, Sampeyan baru saja ke luar kota . Walah, alahmdulillah akhirnya ketemu juga! Saya ada perlu dengan Sampeyan, Gus…,”

Kang Dalimin mencoba mengutarakan niatnya. Tapi dua orang yang mengapit Gus Mus berkali-kali melirik arlojinya, menunjukan bahwa mereka sedang dikejar waktu untuk suatu acara penting. Syukurlah Dalimin peka akan gelagat itu.

“Eee, maaf. Sampeyan sekarang hendak ke mana, Gus?”

“Taman Budaya,” jawab Gus Mus.

“ Taman Budaya…”

“Begini Pak, eh, Kang,” sahut salah seorang di samping Gus Mus. “ Gus Mus sekarang mau ada acara baca cerpen di Taman Budaya. Dan maaf, waktu kami sangat mendesak. Kami mau geladi bersih. Jadi….”

“Ya, ya. Saya maklum. Tapi, maaf Gus, saya benar-benar ingin ketemu Sampeyan. Sungguh saya ingin ngobrol dengan Sampeyan dan mau minta sesuatu….”

“Ya, kalau begitu setelah acara selesai, saya usahakan bisa mampir ke rumah Sampeyan. Di mana rumah Sampeyan, Kang?”

“Aduh, jangan Gus. Biar saya saja yang menemui setelah acara Sampeyan selesai. Biar nanti saya yang ke sana . Tidak apa-apa. Di mana tadi tempat pengajiannya?”

“Bukan pengjaian, tapi baca cerpen,” timpal orang di samping Gus Mus.

“Iya itu maksud saya. Di mana?”

“ Taman Budaya.”

“Ya. Taman Budaya. Nanti malam kalau begitu ya Gus? Aslamualaikum.”

“Walaikumsalam….”

***

“Apa amalan-nya, Kang?” tanya istrinya, tak sabar menunggu jawaban Kang Dalimin sepulangnya menenemui Gus Mus di Taman Budaya.”

“Amalan apa?” jawab Kang Dalimin kecut.

“ Sampeyan itu gimana toh!Ya amalan dari Gus Mus itu.”

“Beliau tidak punya amalan. Bilau bilang, “ Wah, saya tidak punya amalan apa-apa, Kang.”

“Lho, masa sih kyai tidak punya amalan?” protes istrinya.

“Itulah. Beliau hanya bilang, “Pokoknya bekerja dan ‘bismillah’. Apa-apa kalau pakai ‘bismillah’ pasti akan beres, rejeki lanacar, insya allah.” Ah, kalau hanya ‘bismillah’ sih sudah tahu dari dulu, sebelum saya bisa solat.”

Sejenak istrinya diam.

“Ya, bismillah itu mungkin amalannya, Kang!” sergah istrinya bercuriga.

“Amalan kok pendek begitu. Saya lihat sendiri Kang Darmadi , ia kalau mau berangkat jualan batik komat-kamitnya sampai lima menitan kok. ”

“Dengar dulu Kang. Biasanya kyai itu memang begitu. Ngakunya tidak punya apa-apa, tapi sebenarnya ia punya apa-apa. Di coba saja, Kang, barangkali cocok untuk sampeyan yang mau jualan tempe . Siapa tahu.”

Kang Dalimin tertegun kemudian manggut-manggut. Didengarnya juga akhirnya pendapat istrinya.

Maka mulai hari itu, juga bibir Kang Dalimin selalu dilumuri kalimat bissmillah. Mau apa saja. Mau membuat adonan tempe , memundak keranjang tempe , menawarkan tempe , memberikan uang kembalian, menagih utang. Pokonya pekerjaan apa saja yang dikerjakannya selalu menyertakan ‘bismillah, pada awalnya. Juga kalau mengawali bicara. Ia merasa ada yang kurang jika mengerjakan sesuatu tanpa bismillah dan tentu saja menutupnya dengan ‘hamdallah’. Jadilah ia sorang pedagang tempe yang giat. Pastilah karena begitu cintanya pada ‘bismillah’. Kalau tidak kerja berarti tidak ber-bismillah. Sibuk ber-bismillah berarti sibuk kerja.

Lambat laun ‘Bissmilah’ Kang Dalimin menjadi buah bibir bagi orang-orang. konon Kang Dalimin dapat mengobati penyakit tertentu hanya dengan melafadzkan bismillah-nya. Seperti Narti anaknya Pak Kabul misalnya, yang demam berkepanjangan akhirnya sembuh juga lantaran usapan tangan Kang Dalimin yang disertai bismillah. Atau Kang Parjo yang punya penyakit batuk menahun, Bu Ijah yang ambeyen, Kang Ali yang encokan, semuanya selesai diatasi Kang Dalimin dengan ‘bismillah’. Tak heran diam-diam akhirnya banyak pasien berdatangan ke rumah untuk minta penyembuhan.

Karena saking membludaknya pasien, ujungnya Kang Dalimin kewalahan mengedarkan tempe-nya di pasar. Dan ia memilih hengkang dari karirnya sebagai penjual tempe , dan memilih untuk buka praktek penyembuhan segala penyakit di rumahnya karena barangkali memang lebih menjanjikan. Kang Dalimin sukses!



Kang Dalimin harus segera pamitan pada Koh Alung--pelanggan tempe-nya dulu, yang juga banyak mengajarinya tentang ramuan obat-obatan Cina, yang selama ini ia pakai untuk para pasiennya. Ya, barusan istrinya berpesan lewat SMS, bahwa dirinya harap bersegera pulang.

Begitu ia masuk ruang tamu yang sekaligus juga ruang prakteknya, Kang Dalimin telah mendapati seorang pasien yang tengah duduk dengan letih. Pasitilah dari jauh. Nampak pasien itu sudah lama menunggunya.Sepertinya mau mau mengobati encoknya yang sering kumat dan minta "bismilah" Kang Dalimin yang sudah kondang.

“Wah, saya nunggu Sampeyan dari tadi, Kang. Kata istri Sampeyan, Sampeyan lagi keluar kota . Jadi orang sibuk ya sekarang?”

“ Ya gitulah, silhakan berbaring,saya cuma punya waktu 10 menit, encokan?"

Tamu itu kemudian mengikuti perintah Dalimin. Tapi Dalimin sesaat terdiam menatap tamunya dalam-dalam.

Bismillah. Masyaalah!! Sampeyan toh Gus![]

2 komentar:

Endro Mustofa mengatakan...

Cerpen yang menarik bang Iwan .... lanjutkan..

FTHSNI TUBA BARAT mengatakan...

mantab bang iwan!!!